Kamis, 18 Mei 2017

Perhitungan Pajak

PENGERTIAN PAJAK
Berdasarkan pasal 1 undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 dan dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam mekanisme pembayaran pajak, dana terlebih dahulu masuk dalam proses anggatan (budgeter) yang akan didistribusikan dan digunakan untuk pengadaan maupun penyediaan barang jasa dan  publik yang akan dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Adapun pengertian menurut beberapa ahli yaitu ;
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, Pajak adalah Peralihan dari pihak rakyat ke kas Negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin. Surplusnya digunakan untuk investasi pada barang-barang publik, misalnya jalan raya dan jembatan.
Menurut Prof. S.I Djayadiningrat, pajak adalah suatu kkewajiban menyerahkan sebuah sebagian dari kekayaan kepada Negara yang disebabakan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang  memberi kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukum menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada balas jasa dari Negara.
Ada beberapa hal mendasar yang dapat diambil dari pengetian-pengertian pajak di atas yaitu:
Pajak sifatnya wajib, dapat dipaksakan terhadap perorangan atau badan usaha/perusahaan.
Pajak diberlakukan berdasarkan undang-undang atau peraturan, regulasinya jelas.
Negara tidak memberikan imbal balik atau prestasi secara langsung terhadap pembayar pajak.
Sumber pembiayaan pengerluaran secara kolektif
Pajak digunakan untuk menigkatkan kesejahteraan rakyat

FUNGSI PAJAK
Ada beberapa fungsi pajak yaitu:
fungsi anggaran atau penerimaan (fiscal function): yaitu suatu fungsi yang memungkinkan pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dan secara optimal ke kas Negara bedasarkan udang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena secara historis fungis ini yang mucul pertama kali. Jadi dalam fungsi ini Pajak merupakan salah satu sumber dana yang mempunyai peranan penting di Indonesia karena sekitar 70% pengeluaran Negara ditanggung oleh pajak. Oleh karena itu, penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen (data) penerimaan dalam negeri pada APBN.
Fungsi mengatur ( regulerend ) : Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya adalah pengenaan  pejak pada minuman keras, pajak impor atau bea masuk atas kegiatan impor komoditas tertentu, dan pembebasan pajak ekspor.
Fungsi stabilitas : Pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif dan pengenaan pajak terhadap barang impor mewah.
Fungsi redistribusi pendapatan : Penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

PERBEDAAN PAJAK DENGAN PUGUTANNRESMI LAINNYA

Ada juga pungutan lain yang tidak masuk kedalam klasifikasi pajak yaitu retribusi. Restribusi terdiri atas retribusi jasa umum, retribusi usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Bebarapa perbedaan pajak dan retribusi adalah sebagi berikut.
Dasar Hukum
Pada pajak pugutan diatur bedasarkan undang-undang sedangkan pungutan retribusi bedasarkan pada peraturan pemerintah, peraturan mentri, atau pejabat yang lebih rendah.
Balas Jasa
Pada Pajak, balas jasa tidak bisa ditunjukkan secara langsung, sedangkan pada retribusi balas jasa ditunjukan secara langsung kepada individu.
Objek Pemugutan
Pada Pajak Pemungutannya dilakukan secara umum , artinya pajak berlaku pada setiap orang yang memenuhi syarat. Pada retribusi, pemungutan hanya dilakukan utnuk orang-orang tertentu yang menggunakan jasa pemerintah
Sifat dan Sanksi
Pada Pajak, Pemungutan bersifat memaksa dan siapa saja yang tidak membayar maka iia akan mendapat sanksi secara yuridis. Pada Retribusi, pemungutan dapat dipaksakan, tetapi putusan akhir diserahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk membayar atau tidak.
Lembaga Pemungut
Pajak dapat dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sedangkan retribusi hanya dipuungut oleh pemerintah.

ASAS PEMUNGUTAN PAJAK
Pemugutan pajak pada prinsipnya harus memperhatikan keadilan dan keabsahan. Oleh karena itu, pemungutan pajak hendaknya menungjang tinggi asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nation. Asas-asas nya adalah sebagai berikut.
Asas equality, yang menekankan pentingnya keseimbangan bedasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak. Tidak ada diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Pemungutan pajak dilakukan terhadap semuan subjek pajak harus sesuai dengan batas kemapuan masing-masing. Setiap orang-orang yang mempunyai kondisi yang sama harus dikenai pajak yang sama.
Asas Certainty, yang menekankan pentingnya kepastian hukum yang mengaturnya, kepastian subjek pajak, kepastian objek pajak dan tata cara pemungutannya. Kepastian ini menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam menjalankan kewajiban membayar pajak karena segala sesuatunya sudah jelas.
Asas convenience of payment, yang menekankan pada pentingnya saat dan waktu yang tepat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Sangat bijaksana jika pemungutan pajak dilakukan pada saat wajib pajak menerima penghasilan dan yang sudah memenuhi syarat objektifnya, yaitu penghasilan diatas penghasilan meinimumnya.
Asas economics, yang menekankan pada pentingnya prinsip ekonomis dalam pemugnutan pajak. Artinya, biaya yang dilaksanakandalam pemngutan pajak tidak booleh lebih bsar daripada pajak yang dipuungut.

SUBJEK PAJAK
Subjek Pajak adalah pihak-pihak yang dikenai kewajiban untuk melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Dapat meliputi orang pribadi maupun badan (perusahaan).
Dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2000 mengenai perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, subjek pajak terdiri dari tiga jenis, yaitu orang pribadi , badan , dan warisan. Subjek pajak juga digolongkan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri .
Jenis-jenis Subjek Pajak sebagaima diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
1. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.Pengertian orang pribadi menurut Rochmat Soemitro adalah manusia dari daging, tulang, dan darah.

2. Warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris, maksud warisan disini adalah warisan yang menghasilkan atau masih ada pajak terutang yang ditinggalkan. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, warisan yang belum terbagi bisa diwakili oleh:
a. Salah seorang ahli warisnya
b. Pelaksana wasiatnya
c. Pihak yang mengurus harta peninggalannya
3. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha dan melakukan kegiatan di Indonesia.

Subjek Pajak digolongkan menjadi dua, yaitu:
Subjek Pajak Dalam Negeri
Istilah Subjek Pajak dalam negeri akan sering ditemukan dalam konteks PPh. Subjek pajak dalam negeri meliputi orang pribadi (individu) maupun badan.
Orang pribadi (individu) yang disebut sebagai subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang: (1) bertempat tinggal di Indonesia, atau (2) berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan; atau (3) yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Manakala orang pribadi meninggal dunia dan meninggalkan warisan, maka sebelum warisan itu terbagi, kedudukan subjek pajak si almarhum digantikan oleh warisan yang belum terbagi tersebut.Itulah sebabnya, warisan yang belum terbagi juga dikategorikan sebagai subjek pajak dalam negeri menggantikan yang berhak (menggantikan si almarhum).
Sementara badan yang tergolong subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi keempat kriteria berikut ini tidak termasuk dalam pengertian subjek pajak badan dalam negeri:
1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Pembiayaannya bersumber dari APBN/D;
3. Penerimaanya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah (pusat maupun daerah); dan
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Subjek Pajak Luar Negeri
ISTILAH subjek pajak luar negeri juga akan lebih sering ditemukan dalam pembahasan PPh. Dan sama seperti subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri juga terdiri dari orang pribadi (individu) dan badan. Subjek pajak orang pribadi luar negeri adalah orang pribadi yang:
1. tidak bertempat tinggal di Indonesia; dan
2. berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Sedangkan badan yang termasuk kelompok subjek pajak badan luar negeri adalah badan yang tidak didirikan di Indonesia dan tidak berkedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri (baik orang pribadi maupun badan) dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan cara: (1) menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bisnis melalui BUT (permanent establishment); atau (2) tidak melalui BUT (biasanya penghasilan yang bersifat pasive income seperti bunga, dividen, royalti maupun sewa).
Jika subjek pajak luar negeri memperoleh penghasilan dengan cara pertama, maka BUT dari subjek pajak luar negeri tersebut tergolong subjek pajak luar negeri. Namun dalam perlakuan pajaknya, BUT dipersamakan dengan subjek pajak badan dalam negeri dan memiliki kewajiban pajak yang sama dengan subjek pajak dalam negeri (kewajiban NPWP, SPT dan lain sebagainya)




PENGERTIAN OBJEK PAJAK
Objek pajak adalah penghasilan , yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Yang termasuk objek pajak antara lain:
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
laba usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
keuntungan selisih kurs mata uang asing;
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
premi asuransi;
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
penghasilan dari usaha berbasis syariah;
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
surplus Bank Indonesia.

Tidak Termasuk Objek Pajak antara lain:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

JENIS-JENIS PAJAK

Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Golongan
Pembagian pajak menurut golongannya dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Pajak Langsung
Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik) dan ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak.Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh) atas laba usaha Wajib Pajak. Wajib Pajak akan menanggung beban pajaknya sendiri dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta atas utang pajaknya dibayar setiap bulan (periodik).
2. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang tidak dikenakan secara berulang-ulang (tidak secara periodik), akan tetapi dikenakan ketika terjadi peristiwa atau perbuatan hukum. Secara ekonomis, pajak tidak langsung dapat dilimpahkan ke orang (Wajib Pajak) lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagaimana PPN ini sebenarnya yang menanggung adalah konsumen dan dipungut ketika terjadi transaksi atas Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).
Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Sifat
Pembagian pajak menurut sifatnya dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Pajak Subyektif
Pajak subyektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan keadaan Wajib Pajak itu sendiri.Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Wajib Pajak dikenakan PPh dengan tarif progresif dalam artian semakin tinggi penghasilan maka tarifnya pun juga tinggi.
2. Pajak Objektif
Pajak obyektif adalah pajak yang dikenakan berdasarkan keadaan, peristiwa dan/atau perbuatan yang dapat menimbulkan kewajiban membayar pajak tanpa melihat subjeknya. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dalam kondisi seperti apapun seseorang maupun badan usaha tetap akan dipungut PPN ketika terjadi peristiwa transaksi atas Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).



Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Wewenang Pemungut
Pembagian pajak menurut Wewenang Pemungut dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Pajak Pusat
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan pajak yang dipungut akan masuk ke kas negara. Kewenangan yang memungut pajak pusat untuk saat ini adalah Direktorat Jenderal Pajak.
Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :
1. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha,gaji , honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN.Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%.Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%.Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan
PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

2. Pajak Daerah
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten dan pajak yang dipungut akan masuk ke kas daerah. Kewenangan yang memungut pajak daerah untuk saat ini adalah Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran ;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.
6. Pengertian Tarif Pajak
Tarif Pajak adalah suatu penetapan atau persentase berdasarkan Undang-Undang yang dapat digunakan untuk menghitung dan/atau menentukan jumlah pajak yang harus dibayar, disetor dan/atau dipungut oleh Wajib Pajak.Pada umumnya tarif pajak di Indonesia ditentukan berdasarkan persentase (%), tapi ada juga tarif pajak yang hanya berupa nominal saja.Jadi untuk menghitung jumlah pajak, tinggal mengalikan tarif pajak dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).Nah, DPP ini bermacam-macam tergantung keadaan, perbuatan dan/atau peristiwa hukum yang terjadi, bisa berupa peredaran bruto, penghasilan netto (bersih), penjualan, penggantian dan sebagainya.
Jenis-Jenis Tarif Pajak
Seperti yang saya jelaskan tadi bahwa ada beberapa jenis tarif pajak yang dapat digunakan oleh suatu Negara sebagai acuan dalam menghitung/menetapkan pajak yaitu
1. Tarif Tetap
Tarif Tetap adalah tarif pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan Dasar Pengenaan Pajak. Misalnya Bea Meterai, nominalnya tetap 3000 atau 6000 dan tidak ada tarif berupa persentase untuk pajak bea materai.
2. Tarif Proporsional (Sebanding)
Tarif Proporsional adalah tarif pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan Dasar Pengenaan Pajak. Jadi, jumlah pajak yang dibayar akan sebanding dengan DPPnya. Apabila DPPnya semakin besar maka pajak yang harus dibayar akan semakin besar pula, begitu juga sebaliknya. Misalnya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kita kenal sekarang ini sebesar 10%.Berapapun nilai Dasar Pengenaan Pajaknya, tarif pajak yang digunakan tetap 10% dari DPP.
3. Tarif Progresif
Tarif Progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar apabila Dasar Pengenaan Pajaknya meningkat. Undang-Undang Pajak Penghasilan Negara Indonesia Pasal 17 ayat 1 menggunakan tarif ini, Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini
Penghasilan ≤ Rp 50.000.000,00 tarif pajaknya 5%
Penghasilan diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000 tarif pajaknya 15%
Penghasilan diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000 tarif pajaknya 25%
Penghasilan > Rp 500.000.000 tarif pajaknya 30%

4. Tarif Degresif
Tarif Degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil apabila Dasar Pengenaan Pajaknya menurun.Pada prakteknya, Undang-Undang Perpajakan di Negara Indonesia tidak pernah menggunakan tarif degresif. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini
Penghasilan ≤ Rp 50.000.000,00 tarif pajaknya 30%
Penghasilan diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000 tarif pajaknya 25%
Penghasilan diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000 tarif pajaknya 15%
Penghasilan > Rp 500.000.000 tarif pajaknya 5%
5. Tarif Ad Valorem
Tarif Advalorem adalah tarif pajak dengan persentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. Contohnya adalah bea masuk (bea impor), untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut
PT Planet Pajak melakukan impor barang berupa sepatu sebanyak 1000 pasang, harga per pasang sebesar Rp 150.000. Jika Bea Masuk sebesar 20% maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah
Nilai Barang Impor = Harga per pasang x Jumlah barang
= Rp 150.000 x 1000
= Rp 150.000.000

Bea Masuk = Persentase x Nilai barang impor
= 20% x Rp 150.000.000
= Rp 30.000.000
6. Tarif Spesifik
Tarif Spesifik adalah tarif pajak dengan suatu jumlah tertentu atau suatu jenis tertentu atau satuan jenis barang tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Contohnya hampir sama dengan tarif Ad Valorem, akan tetapi perbedaannya hanya terletak pada persentase saja. Apabila Tarif Ad Valorem menggunakan persentase tertentu sedangkan tarif spesifik menggunakan tarif nominal tetentu.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut ini
PT Planet Pajak melakukan impor barang berupa sandal sebanyak 1200 pasang, harga per pasang sebesar Rp 110.000.jika Bea Masuk sebesar Rp 20.000/pasang maka besarnya Bea Masuk yang harus dibayar adalah
Bea Masuk = Ketetapan x Jumlah Barang Impor
= Rp 20.000 x 1200
= Rp 24.000.000
Perhitungan PPN, PBB, dan PPn BM
Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM)
Dasar Hukum adalah udang-undang No. 8 tahum 1983 diubah menjadi undang-undang No. 10 tahun 1994, undang-undang No. 42 tahun 2009
Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPn BM dikenakan atas
Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Impor barang kena pajak.
Penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan di dalam daerah pabean.
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daeerah pabean
Ekspor kena pajak barang berwujud oleh penngusuaha kena pajak.
Ekspor kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak.
Ekspor jasa kena Pajak oleh pengusaha kena pajak.
Tarif penjualan atas barang mewah ditetapkan paling rendah 10% dari paling tinggi 20 %. Adapun ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan 0%.

Contoh :

PKP A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
= Nilai Presentanse PPN x Harga Jual
= 10% x Rp25.000.000,00
= Rp2.500.000,00
Jadi, PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
PKP B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP B
= 10% x Rp20.000.000,00
= Rp 2.000.000,00
Jadi, Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
Pengusaha Kena Pajak D mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
PPN = 10% x Rp5.000.000,00
= Rp500.000,00
PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00
= Rp1.000.000,00
Kemudian PKP D menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu          BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP D atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP D menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
PPN = 10% x Rp50.000.000,00
= Rp5.000.000,00
PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00
= Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP D dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP D. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP X.

Perhitungan PBB
Dasar pengenaan Pajak Bumi dan bangunan adalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yaitu harga rata rata yang didapat dari sebuah transaksi jual beli yang wajar. Apabila tidak ada transaksi jual beli, penentuan Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan dengan cara membandingkan harga dengan objek lain yang masih sejenis ataupun nilai perolehan yang baru atau NJOP Pengganti.
Apabila kita membeli sebuah rumah besarta tanahnya atau tanah saja maka NJOP nya bukan nilai transaksi pembelian rumah yang dilakukan. NJOP-nya adalah nilai penjualan secara rata rata yang ditetapkan oleh kantor pajak.
Dalam menentukan NJOP beberapa faktor perlu diperhatikan seperti berikut:
Faktor yang menentukan dalam klasifikasi Bumi :
1. Letak
2. Pemanfaatan
3. Peruntukan
4. Kondisi Lingkungan
Faktor yang menentukan dalam klasifikasi Bangungan :
1. Bahan yang digunakan dalam bangunan
2. rekayasa
3. letak
4. kondisi lingkungan
Contoh Cara Menghitung PBB | Pajak Bumi dan Bangunan

Sebelumnya istilah istilah yang terkait dengan pajak bumi dan bangunan :
PBB
:
Pajak Bumi dan Bangunan

NJOP
:
Nilai Jual Objek Pajak

NJKP
:
Nilai Jual Kena Pajak

NJOTKP
:
Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak

Dasar Penghitungan Pajak
Dasar Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak yang besarnya berupa persentase tertentu atas NJOP. Persentase NJKP ditetapkan paling rendah 20% dan yang paling tinggi hingga 100% yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh : NJOP atau Nilai Jual Objek Pajak besarnya Rp 1.000.000, Persentase NJOP misalnya 20 %, maka NJOP atau Nilai Jual Kena Pajaknya sebesar :  20% x Rp 1.000.000 : Rp 200.000  Rumus cara menghitung PBB : 0,5 persen X tarif tetap
(Berdasarkan pada UU No 12 Tahun 1994)

Contoh sederhana :  Ahmad Sobirin memiliki rumah seluas 36 meter persegi yang berdiri diatas sebidang tanah seluas 72 meter persegi.  Diketahui harga tanah tersebut adalah 2.000,000 per meter dan bangunan dihargai Rp 1.000.000 per meter persegi  Selain itu terdapat taman yang luasnya 36 mter persegi dimana taman tersebut permeternya senilai Rp 500.000, Dan jika Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp 10.000.000. maka berakah Ahmad Sobirin harus membayar Pajak Bumi dan Bangunannya?
Beberapa data yang ada :
Tanah
:
72
x
2.000.000
=
144.000.000

Bangunan
:
36
x
1.000.000
=
36.000.000

Taman
:
36
x
500.000
=
18.000.000

1. Menghitung Nilai Bangunan

Nilai Bangunan
=
Bangungan + Taman - NJOPTKP


Bangunan

36.000.000

Taman

18.000.000
+

54.000.000

NJOPTKP

10.000.000
-

Nilai Bangunan
=
44.000.000

2. Menghitung NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)

Nilai Bangunan
Rp
44.000.000

Nilai Tanah
Rp
144.000.000
+

NJOP
Rp
188.000.000

3. Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan
PBB :
Nilai Bangunan
0,50%
X
20%
x
Rp
44.000.000
=
Rp
44.000

Nilai Tanah
0,50%
X
20%
x
Rp
144.000.000
=
Rp
144.000
+







Rp
188.000

Besaran nilai Pajak Bumi dan Bangunan Bpk Ahmad Sobirin yang harus dibayar sebesar Rp 188.000

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda